BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagasan mengenai pemilihan Presiden langsung merupakan sebuah pemikiran
yang sangat rumit setelah jatuhnya Soeharto pada masa orde baru. Pada masa
tersebut kebebasan Presiden sangat mutlah sedangkan kebebasan pers terbatas
sehingga masyarakat tidak yahu keadaan pemerintahan yang sebenarnya.
Dalam makalah ini membahas diawali latar
belakang politikmunulnya gagasan Pemilihan Presiden Langsung. Menguraikan
pandangan dan perdebatan fraksi-fraksi sejak tahun 1999-2002. Pandangan
masyarakat sipil dalam mempengaruhi sikap fraksi-fraksi. Analisis kontestasi
yang membahas mengenai proses kompetisi dan kompromi diantara fraksi-fraksi.
Melalui proses negoisasi para elite dan tekanan masyarakat sipil, maka
dilakukan revitalisasi kelembagaan politik. Pada perubahan UUD 1945 telah
dilakukan pengaturan kembali distributor of power dalam rangka menegakkan
kedaulatan rakyat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
pandangan dan pembahasan fraksi-fraksi tentang pemilihan Presiden langsung?
2. Bagaimana
pandangan masyarakat sipil terhadap pemilihan Presiden langsung?
3. Bagaimana
analisis kontestasi sistem pemilihan Presiden langsung?
4. Bagaimana
implikasi teoritis tentang amandemen UUD 1945?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kontestasi Sistem Pemilihan
Presiden Langsung
1.
Memperkuat Sistem
Presidensial Dengan Pemilihan Presiden Langsung
Gagasan
perlunya pemilihan presiden secara langsung semakin menguat dan menjadi wacana
dalam masyarakat ketika MPR melalui SU MPR tahun 1999 berhasil memillih
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil
presiden yang baru. Masalahnya adalah terpilihnya Abdurrahman Wahid dan
kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden di MPR dianggap sebagai anomali
politik. Megawati berasal dari partai politik pemenang pemilu 1999. Biasanya
dalam sistem presidensial ada konsistens antara kemenangan partai dalam pemilu
dan kemenangannya dalam pemilihan presiden.
Berbagai
analisis muncul setelah proses pemilihan presiden dan wakil presiden itu yang
disampaikan para analis politik dan pakar berbagai perguruan tinggi serta
masyarakat luas. Pemilihan presiden secara tidak langsung melalui MPR perlu
ditinjau kembali dan diganti dengan sistem lain yang lebih demokratis yaitu
dengan pemilihan umum.
2.
Pandangan Dan Pembahasan
Fraksi-Fraksi Pemilihan Residen Langsung
a.
Perdebatan Masa Sidang PAH
III Tahun 1999
Gagasan
pemilihan presiden secara langsung sudah mulai digulirkan di PAH III MPR 1990.
Eforia reformasi rupanya juga menghinggapi para anggota PAH III sehingga muncul
semangat kuat untuk menyalurkan aspirasi reformasi ke dalam amandemen UUD 1945
seperti suara rakyat harus dikedepankan. Substansi usulan yang berkaitan dengan
pemilihan presiden itu adalah pertama, mengenai sistem pemilihannya, dan kedua,
mengenai persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Sementara itu,
mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden sudah diselesaikan pada
perubahan pertama UUD 1945 tahun 1999.
Melalui
pendapat dari berbagai fraksi, maka dapat dikatakan terdapat tiga pandangan
mengenai sistem pemilihan presiden. Pertama,
presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Kedua, presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak
sesuai dengan hasil pemilu.
b. Perdebatan Masa Sidang PAH I November 1999-Juli 2002
Fraksi-fraksi
menyampaikan usulan materi perubahan UUD 1945 lanjutan rapat pleno pertama PAH I
tanggal 29 November 1999. Usulan pemilihan presiden langsung disampaikan
bersamaan dengan usulan lainnya seperti masalah kedudukan dan kewenangan MPR,
DPR, lembaga-lembaga negara seperti BPK, DPA, BI, pemerintahan daerah, dan HAM.
Dengan
demikian, selain adanya dua kelompok pandangan fraksi-fraksi, yaitu yang setuju
dan tidak setuju pemilihan langsung, variannya juga banyak. Maka,
perbedaan-perbedaan itu dibahas dalam rapat-rapat lobi tertutup untuk
memperkecil varian alternatif sehingga memudahkan proses pengambilan keputusan
di ST MPR. Dalam kenyataannya tidaklah mudah menyatukan pendapat yang saling
berlainan itu.
Pada
akhirnya dalam ST MPR 2001, setelah melalui proses lobi yang intensif baik di
MPR maupun diluar MPR yang melibatkan para pimpinan partai masing-masing dapat
disepakati pemilihan Presiden putaran pertama dilakukan secara langsung oleh
rakyat. Sementara itu, untuk putaran keduanya belum dapat diputuskan oleh
karena Fraksi PDIP tetap pada pendiriannya bahwa untuk putaran kedua,
pemilihannya harus dikembalikan kepada MPR.
3.
Pandangan Masyarakat Sipil
Terhadap Pemilihan Presiden Langsung
Jauh
sebelum MPR memustuskan sistem pemilihan Presiden langsung, masyarakat melalui
perguruan tinggi dan LSM secara luas sudah menyuarakan perlunya pemilihan
langsung. Alasannya beragam mulai dari kejenuhan mereka dengan sistem lama sampai
kepada keinginan agar ada konsistensi antara hasil pemilu dengan terpilihnya
seorang Presiden.
Hal yang
mengherankan kalangan masyarakat adalah mengapa PDIP masih tetap saja
menghendaki putaran kedua pemilihan Presiden dikembalikan kepada MPR, padahal
PDIP sdangat dirugikan oleh pemilihan Presiden tahun 1999 oleh MPR yang pada
waktu itu memilih Abdurrahman Wahid.
Berbagai
organisai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan yang datang memenuhi
undangan PAH I selama tahun 2000 sampai dengan 2001 pada umumnya mendukung
pemilihan Presiden secara langsung. Di samping itu, masukan dari tim ahli PAH I
sangat penting artinya karena dalam kenyataannya masukan mereka sering
dijadikan bahan pertimbangan fraksi-fraksi di PAH I dalam membuat keputusan.
Tim Ahli mengusulkan dilakukannya pemilihan Presiden secara langsung supaya
rakyat dapat secara langsung memilih dan memberikan penilaian kepada calon
Presidennya. Menurut Tim Ahli, pemilihan
Presiden secara langsung juga dapat memperkuat sistem presidensial. Tim Ahli
tersebut antara lain adalah Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, Prof. Dr. Maswadi
Rauf, Dr. Affan Gafar, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof Muchasan, yang secara
bergantian menyampaikan pemikiran mereka mengenai sistem pemilihan Presiden
langsung.
4.
Analisis Kontestasi Sistem
Pemilihan Presiden Langsung
Setelah
melalui pembahasan yang lama, sejak masa pembahasan tahun 1999, barulah pada
Sidang Tahunan MPR 2001 sistem pemilihan Presiden ssecara langsung diputuskan
oleh Paripurna MPR. Namun, ini pun baru untuk putaran pertama, sementara untuk
putaran kedua ditunda lagi keputusannya. Fraksi PDIP menginginkan apabila
putaran pertama tidak dihasilkan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mampu
memenuhi ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945, putaran kedua pemilihannya
diserahkan kepada MPR.
Sikap
Fraksi PDIP mengenai sistem pemilihan Presiden langsung sesungguhnya agak
membingungkan. Pada satu sisi sebenarnya Fraksi PDIP yang mengusulkan pertama
kali agar kata ‘sepenuhnya’ di Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dihapuskan sehingga
kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pada sisi lain
Fraksi PDIP sejak awal menentang kuat sistem pemilihan Presiden secara langsung
dan tetap ingin memberikan kewenangan ini pada MPR.
Memang
pada akhirnya Fraksi PDIP bersedia meerima sistem pemilihan Presiden langsung
setelah benar-benar merasa yakin sistem ini dapat menghasilkan Presiden yang
didukung mayoritas rakyat Indonesia, dan di masa depan sistem ini bisa
dijadikan alat untuk menciptakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia
secara alamiah.
Selain
berbagai alasan yang dikemukakan di atas, ada pula semacam kekhawatiran
kalangan pimpinan MPR dan pimpinan serta anggota PAH I bahwa apabila MPR tidak
mampu menyelesaikan dua masalah pokok tersebut, proses perubahan yang sedang
dilakukan terancam akan gagal. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga MPR sebab dianggap tidak mampu
menyelesaikan tugasnya dalam melakukan perubahan UUD 1945 sebagai slah satu
amanat reformasi. Apabila hal ini sampai terjadi, masa depan demokrasi
Indonesia akan terancam gagal pula.
Maka,
dilakukanlah pertemuan antar pimpinan partai agar setiap DPP partai dapat
mendorong fraksinya masing-masing di MPR untuk segera bersepakat menyelesaikan
perbedaan pendapat sehingga proses
perubahan UUD 1945 seluruhnya dapat diselesaikan pada ST MPR 2001. Bahkan Amien
Rais pada hari-hari terakhir ST MPR 2001-setelah fraksi-fraksi menyelesaikan
rapat-rapat di komisi A MPR dan akan segera memasuki Paripurna MPR-, mengundang
seluruh pimpinan fraksi MPR mengadakan pertemuan lobi untukmenyelesaikan
perbedaan pandangan fraksi-fraksi. Rapat itu diselenggarakan di MPR pada sore
hari setelah waktu Ashar, dihadiri seluruh pimpinan fraksi MPR di MPR.
B. Implikasi Teoritis
Proses perubahan UUD 1945 tahun 1999-2000 telah memunculkan dinamika dan
interaksi politik di antara sebelas fraksi dalam pembahasan lima isu utama,
yaitu: dasar negara dan agama, DPR, DPD, MPR, serta sistem pemilihan Presiden
Langsung.
1. Masalah
Dasar Negara dan Agama
Masalah dasar negara ternyatasemata-mata tidak hanya persoalan teknis
semantik belaka. Nasional sekuler berpandangan bahwa Pancasila perlu masuk
dalam pasal-pasal UUD, sementara partai yang berorientasi Islam berpandangan
sebaliknya. Kelompok terakir berpendapat, apabila Pancasila masuk dalam
pasal-pasal, pertama, akan
menghilangkan rekam jejak sejarah atau peran historis umat Islam masa lalu
penyusunan UUD 1945. Kedua, masuknya
pancasila ke dalam pasal-pasal akan menjadikan rentan terhadap perubahan.
Dalam pembahasan dasar negara tiak lagi diperdebatkan ideologi dasar
negara sebab Pancasila sebagai dasar negara sdah dianggap final. Dalam masalah
agama terdapat perbedaan pangan yang mendasar antara kedua kelompok itu. Pertama, usulan memasukan tujuh kata
dalam pasal 29 bukanlah untuk mengubah dasar negara, tetapi bertujuan
memasyarakatkan Islam secara kultural. Kedua,
sebagai upay menegaskan kembali peran hostoris umat Islam dalam menegakkan
NKRI. Ketiga, sebagai upaya menegakkan
simbol-simbolkepartaian untuk semakin memperkuat identitas politiknya sebagai
partai Islam.
2. Masalah
Kelembagaan MPR, DPD, DPR
Perubahan pasal-pasal UUD 1945 yang mngatur lembaga perwakilan merupakan
upaya memperbaiki sistem perwakilan yang selama ini telah melahirkan MPR dengan
kekuasaan tidak terbatas, Presiden yang terlampau kuat, serta legislatif yang
lemah. Pembahasan pengaturan peran DPR tidak memunculkan perdebatan kuat sebab:
tidak menyentuh masalah ideologi, menyangkut kepentingan DPR dan partainya,
memperoleh dukungan kuat dari masyarakat. Menyikapi masalah peningkatan peran
Utusan Daerah ini, ada tiga pendangan utama yaitu: DPD sebagai lembaga yang
kedudukannya sama sejajar dengan DPR (bikameral), DPD sebagai lembaga dewan
kewenangan legislasi terbatas, DPD bukan sebagai lembaga, tetapi tetap
mempertahankannya sebagai utusan yang dipilih langsung oleh rakyat. Adanya
perbedaan pandangan tersebut karena setiap fraksi dipengaruhi oleh faktor
identitas partai yang dalam hal ini dapat berupa kepentingan partai yang
bersifat nilai dan kepentingan partai yang bersifat ‘kekuasaan’.
3. Masalah
Sistem Pemilihan Presiden Langsung
Kesepakatan fraksi-fraksi tentang sistem pemilihan Presiden langsung
tidaklah mudah. Hal tersebut melalui proses pembahasan panjang antara tahun
1999-2002. Hal tersebut dsebabkan oleh pertama,
masalahnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan masalah susunan dan
kedudukan MPR, serta masalah kewenangan MPR sebagai sebuah lembaga. Kedua, terkait dengan masalah kalkulasi
politik, yaitu kesempatan fraksi-fraksi untuk memenangkan calonnya dalam
pemilihan Presiden.
Ada beberapa implikasi teoritis. Pertama, selamaproses perubahan UUD
1945, peran elit fraksi di PAH BP MPR dan DPD partainya besar. Di samping itu,
pengaruh masyarakat sipil juga cukup signifikan dalam mempengaruhi proses dalam
isu perubahan UUD 1945. Masayarakat sipil juga mempengaruhi sikap akhir fraksi
dalam isu yang dibahas MPR. Peran masyarakat sipil yang cukup kuat tidak dapat
dilepaskan dari konteks politik Indonesia pasca-Soeharto di mana reformasi
telah memberi kebebasan sangat besar kepada masyarakat sipil untuk berserikat,
berkumpul, maupun maupun menyampaikan pendapat. Masyarakay sipil menjadi lebih
independen ketika berhadapan dengan negara.
Kedua, warna
aliran masih mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi dalam
proses perubahan UUD 1945. Warna aliran dimanfaatkan oleh partai untuk memperkuat identitas
politik mereka sebagai partai Islam maupun sebagai partai beridentitas
nasional. Tujuannya dalan jangka panjang adalah untuk memperoleh dukungan lebih
luas dari konstituennya.
Ketiga,
proses politik yang berlangsung di MPR selama perubahan yang pertama sampai
perubahan keempat UUD 1945 diwarnai oleh proses kompetisi dan kompromi. Hal ini
memperkuat teori yang dikemukakan oleh Maurice Duvergerndaan Maswandi Raul
bahwa konflik politik inheren ada dalam setiap kelompok masayarakat yang
demokratis.
Keempat,
perdebatab fraksi-fraksi di PAH BP MPR juga diwarnai ke-pentingan partai
yang bersifat nilai-nilai demokrasi, yaitu sebagai upaya membangun sistem checks and balances di antara
lembaga-lembaga negara dalam rangka lebih mengedepankan kedaulatan rakyat. Hal ini
emperkuat tesis dari para ilmuan mengenai pentingnya revitalisasi
lembaga-lembaga demokrasi sehingga transisi dapat mengarah kepada konsolidasi
demokrasi.
BAB
III
KESIMPULAN
Dengan adanya perbedaan pendapat
tentang pemilihan Presiden langsung maka,
dilakukanlah pertemuan antar pimpinan partai agar setiap DPP partai dapat
mendorong fraksinya masing-masing di MPR untuk segera bersepakat menyelesaikan
perbedaan pendapat sehingga proses
perubahan UUD 1945 seluruhnya dapat diselesaikan pada ST MPR 2001. Bahkan Amien
Rais pada hari-hari terakhir ST MPR 2001-setelah fraksi-fraksi menyelesaikan
rapat-rapat di komisi A MPR dan akan segera memasuki Paripurna MPR-, mengundang
seluruh pimpinan fraksi MPR mengadakan pertemuan lobi untukmenyelesaikan
perbedaan pandangan fraksi-fraksi. Rapat itu diselenggarakan di MPR pada sore
hari setelah waktu Ashar, dihadiri seluruh pimpinan fraksi MPR di MPR.
Implikasi teoretis di atas
menunjukan adanya perubahan dan kontinuitas dalam aliran politik terutama Islam
dan kebangsaan. Dua aliran ini akan tetap penting dalam wacana politik
Indonesia di masa depan. Namun demikian,
bentuk aliran politik tidal lagi seperti masa lalu yang secara ideologis
potensial menciptakan konflik yang bersifat ideologis. Fenomena perubahan
ideologi di tingkat global dan menguatnya pragmatisme kalangan umat Islam
Indonesia akibat proses deideologisasi dan modernisasi ekonomiselama orde baru
telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih mengutamakan Islam Kultural
daripada Islam sebagai ideologi.
Huda,
Nikmatul. 2008. UUD 1945 dan Gagasan
Amandemen Ulang. Jakarta: PT Raja Grafindo
by: Taofiq Muctharjo, dkk.
by: Taofiq Muctharjo, dkk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar