Sabtu, 28 April 2012

KONTESTASI SISTEM PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG DAN IMPLIKASI TEORITIS


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
          Gagasan mengenai pemilihan Presiden langsung merupakan sebuah pemikiran yang sangat rumit setelah jatuhnya Soeharto pada masa orde baru. Pada masa tersebut kebebasan Presiden sangat mutlah sedangkan kebebasan pers terbatas sehingga masyarakat tidak yahu keadaan pemerintahan yang sebenarnya.
Dalam makalah ini membahas diawali latar belakang politikmunulnya gagasan Pemilihan Presiden Langsung. Menguraikan pandangan dan perdebatan fraksi-fraksi sejak tahun 1999-2002. Pandangan masyarakat sipil dalam mempengaruhi sikap fraksi-fraksi. Analisis kontestasi yang membahas mengenai proses kompetisi dan kompromi diantara fraksi-fraksi.
          Melalui proses negoisasi para elite dan tekanan masyarakat sipil, maka dilakukan revitalisasi kelembagaan politik. Pada perubahan UUD 1945 telah dilakukan pengaturan kembali distributor of power dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pandangan dan pembahasan fraksi-fraksi tentang pemilihan Presiden langsung?
2.    Bagaimana pandangan masyarakat sipil terhadap pemilihan Presiden langsung?
3.    Bagaimana analisis kontestasi sistem pemilihan Presiden langsung?
4.    Bagaimana implikasi teoritis tentang amandemen UUD 1945?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kontestasi Sistem Pemilihan Presiden Langsung
1.    Memperkuat Sistem Presidensial Dengan Pemilihan Presiden Langsung
Gagasan perlunya pemilihan presiden secara langsung semakin menguat dan menjadi wacana dalam masyarakat ketika MPR melalui SU MPR tahun 1999 berhasil memillih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden yang baru. Masalahnya adalah terpilihnya Abdurrahman Wahid dan kekalahan Megawati dalam pemilihan presiden di MPR dianggap sebagai anomali politik. Megawati berasal dari partai politik pemenang pemilu 1999. Biasanya dalam sistem presidensial ada konsistens antara kemenangan partai dalam pemilu dan kemenangannya dalam pemilihan presiden.
Berbagai analisis muncul setelah proses pemilihan presiden dan wakil presiden itu yang disampaikan para analis politik dan pakar berbagai perguruan tinggi serta masyarakat luas. Pemilihan presiden secara tidak langsung melalui MPR perlu ditinjau kembali dan diganti dengan sistem lain yang lebih demokratis yaitu dengan pemilihan umum.
2.    Pandangan Dan Pembahasan Fraksi-Fraksi Pemilihan Residen Langsung
a.    Perdebatan Masa Sidang PAH III Tahun 1999
Gagasan pemilihan presiden secara langsung sudah mulai digulirkan di PAH III MPR 1990. Eforia reformasi rupanya juga menghinggapi para anggota PAH III sehingga muncul semangat kuat untuk menyalurkan aspirasi reformasi ke dalam amandemen UUD 1945 seperti suara rakyat harus dikedepankan. Substansi usulan yang berkaitan dengan pemilihan presiden itu adalah pertama, mengenai sistem pemilihannya, dan kedua, mengenai persyaratan menjadi presiden dan wakil presiden. Sementara itu, mengenai masa jabatan presiden dan wakil presiden sudah diselesaikan pada perubahan pertama UUD 1945 tahun 1999.
Melalui pendapat dari berbagai fraksi, maka dapat dikatakan terdapat tiga pandangan mengenai sistem pemilihan presiden. Pertama, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Kedua, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Ketiga, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak sesuai dengan hasil pemilu.
b.      Perdebatan Masa Sidang PAH I November 1999-Juli 2002
Fraksi-fraksi menyampaikan usulan materi perubahan UUD 1945 lanjutan rapat pleno pertama PAH I tanggal 29 November 1999. Usulan pemilihan presiden langsung disampaikan bersamaan dengan usulan lainnya seperti masalah kedudukan dan kewenangan MPR, DPR, lembaga-lembaga negara seperti BPK, DPA, BI, pemerintahan daerah, dan HAM.
Dengan demikian, selain adanya dua kelompok pandangan fraksi-fraksi, yaitu yang setuju dan tidak setuju pemilihan langsung, variannya juga banyak. Maka, perbedaan-perbedaan itu dibahas dalam rapat-rapat lobi tertutup untuk memperkecil varian alternatif sehingga memudahkan proses pengambilan keputusan di ST MPR. Dalam kenyataannya tidaklah mudah menyatukan pendapat yang saling berlainan itu.
Pada akhirnya dalam ST MPR 2001, setelah melalui proses lobi yang intensif baik di MPR maupun diluar MPR yang melibatkan para pimpinan partai masing-masing dapat disepakati pemilihan Presiden putaran pertama dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sementara itu, untuk putaran keduanya belum dapat diputuskan oleh karena Fraksi PDIP tetap pada pendiriannya bahwa untuk putaran kedua, pemilihannya harus dikembalikan kepada MPR.
3.    Pandangan Masyarakat Sipil Terhadap Pemilihan Presiden Langsung
Jauh sebelum MPR memustuskan sistem pemilihan Presiden langsung, masyarakat melalui perguruan tinggi dan LSM secara luas sudah menyuarakan perlunya pemilihan langsung. Alasannya beragam mulai dari kejenuhan mereka dengan sistem lama sampai kepada keinginan agar ada konsistensi antara hasil pemilu dengan terpilihnya seorang Presiden.
Hal yang mengherankan kalangan masyarakat adalah mengapa PDIP masih tetap saja menghendaki putaran kedua pemilihan Presiden dikembalikan kepada MPR, padahal PDIP sdangat dirugikan oleh pemilihan Presiden tahun 1999 oleh MPR yang pada waktu itu memilih Abdurrahman Wahid.
Berbagai organisai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan yang datang memenuhi undangan PAH I selama tahun 2000 sampai dengan 2001 pada umumnya mendukung pemilihan Presiden secara langsung. Di samping itu, masukan dari tim ahli PAH I sangat penting artinya karena dalam kenyataannya masukan mereka sering dijadikan bahan pertimbangan fraksi-fraksi di PAH I dalam membuat keputusan. Tim Ahli mengusulkan dilakukannya pemilihan Presiden secara langsung supaya rakyat dapat secara langsung memilih dan memberikan penilaian kepada calon Presidennya. Menurut Tim Ahli,  pemilihan Presiden secara langsung juga dapat memperkuat sistem presidensial. Tim Ahli tersebut antara lain adalah Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, Prof. Dr. Maswadi Rauf, Dr. Affan Gafar, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Prof Muchasan, yang secara bergantian menyampaikan pemikiran mereka mengenai sistem pemilihan Presiden langsung.
4.    Analisis Kontestasi Sistem Pemilihan Presiden Langsung
Setelah melalui pembahasan yang lama, sejak masa pembahasan tahun 1999, barulah pada Sidang Tahunan MPR 2001 sistem pemilihan Presiden ssecara langsung diputuskan oleh Paripurna MPR. Namun, ini pun baru untuk putaran pertama, sementara untuk putaran kedua ditunda lagi keputusannya. Fraksi PDIP menginginkan apabila putaran pertama tidak dihasilkan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mampu memenuhi ketentuan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945, putaran kedua pemilihannya diserahkan kepada MPR.
Sikap Fraksi PDIP mengenai sistem pemilihan Presiden langsung sesungguhnya agak membingungkan. Pada satu sisi sebenarnya Fraksi PDIP yang mengusulkan pertama kali agar kata ‘sepenuhnya’ di Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 dihapuskan sehingga kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pada sisi lain Fraksi PDIP sejak awal menentang kuat sistem pemilihan Presiden secara langsung dan tetap ingin memberikan kewenangan ini pada MPR.
Memang pada akhirnya Fraksi PDIP bersedia meerima sistem pemilihan Presiden langsung setelah benar-benar merasa yakin sistem ini dapat menghasilkan Presiden yang didukung mayoritas rakyat Indonesia, dan di masa depan sistem ini bisa dijadikan alat untuk menciptakan penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia secara alamiah.
Selain berbagai alasan yang dikemukakan di atas, ada pula semacam kekhawatiran kalangan pimpinan MPR dan pimpinan serta anggota PAH I bahwa apabila MPR tidak mampu menyelesaikan dua masalah pokok tersebut, proses perubahan yang sedang dilakukan terancam akan gagal. Keadaan ini pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga MPR sebab dianggap tidak mampu menyelesaikan tugasnya dalam melakukan perubahan UUD 1945 sebagai slah satu amanat reformasi. Apabila hal ini sampai terjadi, masa depan demokrasi Indonesia akan terancam gagal pula.
Maka, dilakukanlah pertemuan antar pimpinan partai agar setiap DPP partai dapat mendorong fraksinya masing-masing di MPR untuk segera bersepakat menyelesaikan perbedaan pendapat  sehingga proses perubahan UUD 1945 seluruhnya dapat diselesaikan pada ST MPR 2001. Bahkan Amien Rais pada hari-hari terakhir ST MPR 2001-setelah fraksi-fraksi menyelesaikan rapat-rapat di komisi A MPR dan akan segera memasuki Paripurna MPR-, mengundang seluruh pimpinan fraksi MPR mengadakan pertemuan lobi untukmenyelesaikan perbedaan pandangan fraksi-fraksi. Rapat itu diselenggarakan di MPR pada sore hari setelah waktu Ashar, dihadiri seluruh pimpinan fraksi MPR di MPR.

B.  Implikasi Teoritis
          Proses perubahan UUD 1945 tahun 1999-2000 telah memunculkan dinamika dan interaksi politik di antara sebelas fraksi dalam pembahasan lima isu utama, yaitu: dasar negara dan agama, DPR, DPD, MPR, serta sistem pemilihan Presiden Langsung.
1.    Masalah Dasar Negara dan Agama
      Masalah dasar negara ternyatasemata-mata tidak hanya persoalan teknis semantik belaka. Nasional sekuler berpandangan bahwa Pancasila perlu masuk dalam pasal-pasal UUD, sementara partai yang berorientasi Islam berpandangan sebaliknya. Kelompok terakir berpendapat, apabila Pancasila masuk dalam pasal-pasal, pertama, akan menghilangkan rekam jejak sejarah atau peran historis umat Islam masa lalu penyusunan UUD 1945. Kedua, masuknya pancasila ke dalam pasal-pasal akan menjadikan rentan terhadap perubahan.
          Dalam pembahasan dasar negara tiak lagi diperdebatkan ideologi dasar negara sebab Pancasila sebagai dasar negara sdah dianggap final. Dalam masalah agama terdapat perbedaan pangan yang mendasar antara kedua kelompok itu. Pertama, usulan memasukan tujuh kata dalam pasal 29 bukanlah untuk mengubah dasar negara, tetapi bertujuan memasyarakatkan Islam secara kultural. Kedua, sebagai upay menegaskan kembali peran hostoris umat Islam dalam menegakkan NKRI. Ketiga, sebagai upaya menegakkan simbol-simbolkepartaian untuk semakin memperkuat identitas politiknya sebagai partai Islam.
2.    Masalah Kelembagaan MPR, DPD, DPR
         Perubahan pasal-pasal UUD 1945 yang mngatur lembaga perwakilan merupakan upaya memperbaiki sistem perwakilan yang selama ini telah melahirkan MPR dengan kekuasaan tidak terbatas, Presiden yang terlampau kuat, serta legislatif yang lemah. Pembahasan pengaturan peran DPR tidak memunculkan perdebatan kuat sebab: tidak menyentuh masalah ideologi, menyangkut kepentingan DPR dan partainya, memperoleh dukungan kuat dari masyarakat. Menyikapi masalah peningkatan peran Utusan Daerah ini, ada tiga pendangan utama yaitu: DPD sebagai lembaga yang kedudukannya sama sejajar dengan DPR (bikameral), DPD sebagai lembaga dewan kewenangan legislasi terbatas, DPD bukan sebagai lembaga, tetapi tetap mempertahankannya sebagai utusan yang dipilih langsung oleh rakyat. Adanya perbedaan pandangan tersebut karena setiap fraksi dipengaruhi oleh faktor identitas partai yang dalam hal ini dapat berupa kepentingan partai yang bersifat nilai dan kepentingan partai yang bersifat ‘kekuasaan’.
3.    Masalah Sistem Pemilihan Presiden Langsung
        Kesepakatan fraksi-fraksi tentang sistem pemilihan Presiden langsung tidaklah mudah. Hal tersebut melalui proses pembahasan panjang antara tahun 1999-2002. Hal tersebut dsebabkan oleh pertama, masalahnya tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan masalah susunan dan kedudukan MPR, serta masalah kewenangan MPR sebagai sebuah lembaga. Kedua, terkait dengan masalah kalkulasi politik, yaitu kesempatan fraksi-fraksi untuk memenangkan calonnya dalam pemilihan Presiden.
            Ada beberapa implikasi teoritis. Pertama, selamaproses perubahan UUD 1945, peran elit fraksi di PAH BP MPR dan DPD partainya besar. Di samping itu, pengaruh masyarakat sipil juga cukup signifikan dalam mempengaruhi proses dalam isu perubahan UUD 1945. Masayarakat sipil juga mempengaruhi sikap akhir fraksi dalam isu yang dibahas MPR. Peran masyarakat sipil yang cukup kuat tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Indonesia pasca-Soeharto di mana reformasi telah memberi kebebasan sangat besar kepada masyarakat sipil untuk berserikat, berkumpul, maupun maupun menyampaikan pendapat. Masyarakay sipil menjadi lebih independen ketika berhadapan dengan negara.
          Kedua, warna aliran masih mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi dalam proses perubahan UUD 1945. Warna aliran dimanfaatkan  oleh partai untuk memperkuat identitas politik mereka sebagai partai Islam maupun sebagai partai beridentitas nasional. Tujuannya dalan jangka panjang adalah untuk memperoleh dukungan lebih luas dari konstituennya.
           Ketiga, proses politik yang berlangsung di MPR selama perubahan yang pertama sampai perubahan keempat UUD 1945 diwarnai oleh proses kompetisi dan kompromi. Hal ini memperkuat teori yang dikemukakan oleh Maurice Duvergerndaan Maswandi Raul bahwa konflik politik inheren ada dalam setiap kelompok masayarakat yang demokratis.
           Keempat, perdebatab fraksi-fraksi di PAH BP MPR juga diwarnai ke-pentingan partai yang bersifat nilai-nilai demokrasi, yaitu sebagai upaya membangun sistem checks and balances di antara lembaga-lembaga negara dalam rangka lebih mengedepankan kedaulatan rakyat. Hal ini emperkuat tesis dari para ilmuan mengenai pentingnya revitalisasi lembaga-lembaga demokrasi sehingga transisi dapat mengarah kepada konsolidasi demokrasi.



BAB III
KESIMPULAN
         Dengan adanya perbedaan pendapat tentang pemilihan Presiden langsung maka, dilakukanlah pertemuan antar pimpinan partai agar setiap DPP partai dapat mendorong fraksinya masing-masing di MPR untuk segera bersepakat menyelesaikan perbedaan pendapat  sehingga proses perubahan UUD 1945 seluruhnya dapat diselesaikan pada ST MPR 2001. Bahkan Amien Rais pada hari-hari terakhir ST MPR 2001-setelah fraksi-fraksi menyelesaikan rapat-rapat di komisi A MPR dan akan segera memasuki Paripurna MPR-, mengundang seluruh pimpinan fraksi MPR mengadakan pertemuan lobi untukmenyelesaikan perbedaan pandangan fraksi-fraksi. Rapat itu diselenggarakan di MPR pada sore hari setelah waktu Ashar, dihadiri seluruh pimpinan fraksi MPR di MPR.
           Implikasi teoretis di atas menunjukan adanya perubahan dan kontinuitas dalam aliran politik terutama Islam dan kebangsaan. Dua aliran ini akan tetap penting dalam wacana politik Indonesia di  masa depan. Namun demikian, bentuk aliran politik tidal lagi seperti masa lalu yang secara ideologis potensial menciptakan konflik yang bersifat ideologis. Fenomena perubahan ideologi di tingkat global dan menguatnya pragmatisme kalangan umat Islam Indonesia akibat proses deideologisasi dan modernisasi ekonomiselama orde baru telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih mengutamakan Islam Kultural daripada Islam sebagai ideologi.


 DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nikmatul. 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: PT Raja Grafindo


by: Taofiq Muctharjo, dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar